Rabu, 01 April 2015

Acts Like Summer & Walks Like Rain

Saya menyukai setiap musim yang berubah, dulu ketika saya masih tinggal di sebuah kampung dengan banyak sekali sawah dan pohon di sekitarnya, sedikit sekali kekhawatiran. Saya menyukai setiap musim, meskipun musim yang kita rasakan hanya dua tapi semuanya di kampung saya selalu menyangkan, selalu benar.

Musim panas yang cerah, di kampung saya meskipun musim panas tapi udaranya tetap sejuk, masih ada angin bertiup yang membuat pohon-pohon besar di sekitar rumah saya manari dengan tenang. Dari sana, terdengar suara serangga yang berisik, saya sih nyebutnya 'tongeret', saya tidak paham di sebut apa hewan itu dalam bahasa nasional. Belum lagi musim panas membuat langit kampung saya membiru sempurna, you know blue sky. Awan putih yang 'tebal' dan berkilau, saya berandai dapat tidur di atas awan itu, mungkin rasanya empuk sekali. Ah, saya terlalu banyak menonton serial doraemon sepertinya...

Biasanya panas yang terik membuat saya malah semangat keluar, dulu, saya menjadi bersemangat untuk bermain bersama teman masa kecil saya. Bermain apa saja, rumah-rumahan, loncat tali, atau metis/rujak daun santoloyo. Dulu daun satoloyo bukan hanya sekedar makanan kelinci. Saya suka sekali metis santoloyo kamu tahu, hampir setiap hari setiap pulang sekolah saya dan teman saya mencari daunnya di pinggir sawah dan juga memetik beberapa biji cape di kebun orang (saya tahu itu tidak baik tapi dulu saya tidak mau tahu), modal Rp. 500,- sudah dapat semangkuk petis yang menyempurnakan hari di siang itu. Ah, saya jadi tergiur gini. Pokonya kalo besok pulang mau metis santoloyo.

Musim hujan yang dingin, di kampung saya meskipun musim hujan tapi lingkungannya tetap bersih, pelangi sering muncul setelahnya. Meskipun kadang anginnya tidak nyantai, membuat pohon-pohon besar di sekitar rumah saya bergoyang kesana kemari, agak ngeri sih, tapi justru disitulah sensasinya. Pohon kelapa menjatuhkan buahnya begitu saja, makanya saya di larang keras untuk keluar ketika angin sedang berpesta, karena banyak pohon kelapa yang siap menjatuhkan kepalanya tepat di kelapa saya. Biasanya setelah hujan reda tetangga saya keluar untuk memunguti kepala yang berjatuhan, saya biasanya keluar untuk melihat pelangi. 

Dulu saya senang bukan main ketika harus hujan-hujanan pulang sekolah. Memakai jas hujan dan melepaskan sepatu, malah sengaja menginjak kubangan air, malah sengaja membasahi pakaian, tidak memikirkan bagaimana repotnya nanti Mamah harus mencucinya. Semakin deras hujannya semakin riang tawa saya dan teman masa kecil saya. Karena saya masih kecil saya boleh menari dan berlari dan berteriak di jalan tanpa harus memikirkan perasaan malu atau gengsi. Itu yang saya rindukan saat ini. 

Saat ini? Saat dimana semuanya terasa terbalik sempurna.

Saat ini saya tidak menyukai setiap musim. Saat ini dimana saya tinggal di sebuah kota yang dengan banyak sekali bangunan padat di sekitarnya, lebih banyak kekhawatiran. Saya tidak begitu menyukai setiap musim, meskipun musim yang kita rasakan hanya dua. Entahlah apa yang saya suka dari setiap musim di kota ini, yang jelas, semuanya selalu salah.

Musim panas yang mengerikan, di kota ini musim panas bagaikan neraka dunia. Debu dan kotoran bersatu dengan angin panas dan bertiup dimana-mana, bikin sesak nafas. Saya bahkan tidak bisa menahan air mata yang keluar ketika harus menerjang jalanan kota ini. Tidak ada pagi yang cerah, pagi hanya sampai jam 6 saja, jam 7 ke atas sudah terasa siang dan panjang. Semakin siang semakin ramai kota ini dengan suara klakson yang di bunyikan terus menerus oleh pengemudi yang brengsek. Langit pun terlihat lelah, saya pun lelah. Entah bagaimana manusia mengubahnya menjadi amat mengerikan seperti ini lalu mengomel di twitter atas kondisi kota yang amat buruk.

Biasanya panas yang terik mebuat saya malas sekali keluar, meskipun di hari libur, saya lebih memilih tidur dengan kipas angin di sisi saya. Keluar di siang hari di kota ini sama saja dengan membakar diri sendiri, apalagi dengan kondisi kulit saya yang sensitif, dia akan lebih mudah memerah dan membuat wajah saya mengkilat sempurna. Belum lagi saya jadi harus lebih sering mandi dan mengganti baju tidur setiap hari. Kamu tahu, saya pun adalah manusia normal yang berkeringat. 

Musim hujan yang menyedihkan, musim hujan disini meskipun sedikit tapi bisa mengubah jalanan kota ini menjadi sungai, beberapa daerah menjadi kolam, beberapa lagi menajadi danau. Jarang ada angin yang bertiup kencang disini, tapi kondisi kota seperti porak poranda. Itu karena luapan air membawa sampah-sampah dan membuatnya berserakan. Dan sampah itu bau, kerana itulah lalat berkembang biak dan udara yang saya pakai untuk bernafas beraroma amat tidak menyenangkan. Saya kehilangan selera makan setiap pagi karena bau sampah tercium sampai ke dalam rumah. 

Ketika hujan turun disitu kadang saya merasa sedih, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan ketika hujan, seperti saat ini ketika saya menulis ini, hujan sedang turun beramai-ramai. Sekarang tidak ada lagi tawa riang, yang ada hanya wajah kusut dan serapah pada diri sendiri. Kenapa harus hujan? Padahal saya punya jas hujan, tapi saya tidak bisa bermain lagi dengannya. Sekarang saya takut kalau baju saya basah kuyup, saya takut sepatu saya basah dan tidak bisa saya kenakan, saya menghindari setiap kubangan dan saya takut ini dan saya takut itu. Entah kenapa saya kehilangan keberanian untuk menyatu dengan hujan, dewasa ini menumbuhkan banyak sekali kekhawatiran dalam diri dan saya tidak dapat menahannya. Saya menjadi banyak berfikir sebelum saya melakukan sesuatu yang akhirnya waktu saya terlalu banyak habis untuk berfikir dan terlalu sedikit untuk melakukan sesuatu.

Hujan ini membuat saya berfikir sampai kesana. Tapi sudahlah, semua akan baik-baik saja, mungkin kita hanya tidak seperti dulu lagi. 


What a strange feeling.
Have a nice April in the beginning till the end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar