Selasa, 09 Januari 2024

Bahtera Rumah Tangga

Orang bilang dalam kehidupan 5 tahun pernikahan adalah yang terberat karena dimasa itu pasangan suami istri akan mengalami banyak sekali ujian dalam rumah tangganya dalam segala aspek dan bentuk. Pada masa itu, keteguhan, keyakinan, kesabaran, perasaan dan segalanya seperti dipermainkan. Siapa yang menang, siapa yang bertahan. Atau siapa yang dipertahankan dan siapa yang mempertahankan. Terkadang akupun merasa hidup ini seperti permainan yang mempermainkan aku. Tapi bedanya, jika permainan biasa itu membuat pesertanya bersaing memperbutkan kemenangan, permainan rumah tangga membuat pesertanya harus bekerja sama untuk meraih kemenangan. Lalu siapa lawannya? Lawannya adalah EGO kita sendiri.

Akupun mengalami ujian bertubi-tubi dalam awal tahun kehidupan rumah tanggaku, bahkan usia 1 bulan pertama pernikahanku diambang perceraian. Mengejutkan! Aku pikir aku salah mengira bahwa suamiku adalah jodohku. Saat itu aku tidak menginginkan apapun kecuali kesempatan mengulang waktu dan itu tidak mungkin. Itu adalah ujian pertama dalam rumah tanggaku, yang membuat aku berfikir untuk bercerai.

Dan apa yang lebih mengejutkan? Itu bukan hanya satu-satunya.

Dalam 6 bulan pertama, ada banyak sekali permasalahan yang membuat aku menginginkan perpisahan.  Aku selalu berfikir suamiku melakukan banyak kesalahan, tapi ternyata selalu aku yang meminta perpisahan. Sekalipun jika masalahnya sepele, tapi karena aku selalu mengungkit masalah sebelumnya hingga aku ‘merasa’ cukup untuk mengucapkan kata laknat itu. Sebagai laki-laki, suamiku mengerti akan besarnya pengaruh atas ucapannya, sehingga dia tidak pernah sekalipun meng’iya’kan permintaanku atau menuntutnya terlebih dahulu. Kalau mengingat masa itu, aku jadi merasa bersalah. Padahal emang iya, salah banget!

Jarak waktu dari pertemuan pertamaku dengan suamiku sampai akhirnya kami menikah cukup singkat, 4 bulan saja. Pendekatan 1 bulan, 3 bulan pacaran, lalu menikah. Padahal aku pernah pacaran 7 tahun tapi gak sampe nikah. Mungkin karena pengalaman pacaranku yang terlalu lama dimana banyak drama putus nyambung didalamnya, sehingga kebiasaan itu terbawa hingga ke pernikahan. Aku bertingkah seolah pernikahan juga semudah itu untuk putus nyambung. Ah, ternyata ilmu dan aqidahku masih nol. Aku tidak pantas menikah atau membicarakan pernikahan, aku tidak layak menjadi istri siapapun dengan sifatku yang bodoh itu.

Itulah, 6 bulan pertama adalah masa terburuk dalam pernikahanku dalam 5 tahun terakhir. Dan aku mulai memahami bahwa, mungkin, masa itu dinamakan MASA PENERIMAAN.

Menjadi suami atau istri seseorang sangat berbeda jauh dengan menjadi pacar seseorang. Aku selalu melihat banyak kebaikan dari seseorang yang menjadi pacarku, tapi ketika memiliki suami, segala hal baik itu diimbangi dengan melihat hal baru, yaitu kekurangannya. Kebiasaan, gaya hidup, hal favorit, lagu kesukaan, rahasia, dan lain lain, dan lain lain, dan lain sebagainya, segalanya, ada begitu banyak perbedaan yang tidak aku perhitungkan. Dan pasangan suami istri ‘dipaksa’ rukun dengan semua perbedaan itu dibawah atap yang sama. Belum lagi perbedaan gaya hidupku sendiri, yang dimana biasanya aku cukup memikirkan diri sendiri, sekarang ada suami yang harus aku layani. Apa apa harus atas seijinnya, masak juga harus buat berdua, ininya, itunya, semua diluar nurul!

Dan apa yang lebih sulit dari masa penerimaan itu?

Adalah mempertahankannya. Mempertahankan cinta kepada pasangan kita setelah kita tau segala sisi dan bentuk pasangan kita, segala baik dan buruknya mereka, sedalam mana cinta yang kita terima. Setelah kita menerima segala kelebihan dan kekurangannya, kita masih harus mempertahankannya dalam bahtera rumah tangga. Kenapa harus bahtera? Karena ujian dalam rumah tangga itu seperti lautan. Aku belum pernah ke lautan, tapi aku sering melihat dalam video betapa mengerikannya ombak dilautan lepas. Kapal raksasa saja bisa terombang ambing bagaikan kertas yang lemah. Aku tidak mencela, aku memahami kenapa rumah tangga disandingkan dengan bahtera.

Dan secara garis besar mengacu pada pengalaman 5 tahun pernikahanku, aku jadi bisa menarik kesimpulan. Sebenarnya, BUKAN ujiannya yang bertubi tubi yang datang dari segala penjuru, tetapi kekuatan diri kita yang sebenarnya yang sedang beradaptasi dalam situasi rumah tangga sehingga setiap masalah terasa sekali beratnya. Dan ketika kita berhasil melaluinya, nahloh, ternyata kita masih baik-baik saja, dong. Dan sering berjalannya waktu, semakin banyak ujian yang dilalui, kekuatan kita dalam menghadapinya juga semakin besar. Seakan setiap ujian bukan lagi masalah tapi seperti sebuah hiburan atau tantangan yang akan kita hadapi bersama pasangan kita. Setelah melewati 5 tahun pertama, setelah melewati masa penerimaan itu, diri kita sudah berbeda dengan diri kita 5 tahun lalu. Aku pribadi berpendapat seperti itu.

Semoga saja setiap tahun yang beralu, dalam sisa waktu hidupku, aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Berjalan bersama dengan suamiku, dengan tujuan yang sama, dengan kepercayaan, dan beriringan. 


Suamiku, setelah apa yang kita lalui, aku menyadari bahwa ternyata sekarang aku sudah tidak mencintaimu lagi. Entah kapan rasa cinta itu hilang. Tapi ada perasaan khusus yang aku belum tau namanya, entah sejak kapan, tapi yang pasti, tahtanya lebih tinggi dari cinta. Atau mungkin memang perasaan itu tidak ada namanya, tapi yang jelas aku memilikinya untukmu. 

Istrimu, yang lebay..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar