Akupun mengalami ujian bertubi-tubi dalam awal tahun kehidupan
rumah tanggaku, bahkan usia 1 bulan pertama pernikahanku diambang perceraian.
Mengejutkan! Aku pikir aku salah mengira bahwa suamiku adalah jodohku. Saat itu
aku tidak menginginkan apapun kecuali kesempatan mengulang waktu dan itu tidak
mungkin. Itu adalah ujian pertama dalam rumah tanggaku, yang membuat aku
berfikir untuk bercerai.
Dan apa yang lebih mengejutkan? Itu bukan hanya satu-satunya.
Dalam 6 bulan pertama, ada banyak sekali permasalahan yang
membuat aku menginginkan perpisahan. Aku selalu berfikir suamiku melakukan banyak
kesalahan, tapi ternyata selalu aku yang meminta perpisahan. Sekalipun jika
masalahnya sepele, tapi karena aku selalu mengungkit masalah sebelumnya hingga
aku ‘merasa’ cukup untuk mengucapkan kata laknat itu. Sebagai laki-laki,
suamiku mengerti akan besarnya pengaruh atas ucapannya, sehingga dia tidak
pernah sekalipun meng’iya’kan permintaanku atau menuntutnya terlebih
dahulu. Kalau mengingat masa itu, aku jadi merasa bersalah. Padahal emang iya,
salah banget!
Jarak waktu dari pertemuan pertamaku dengan suamiku sampai
akhirnya kami menikah cukup singkat, 4 bulan saja. Pendekatan 1 bulan, 3 bulan pacaran,
lalu menikah. Padahal aku pernah pacaran 7 tahun tapi gak sampe nikah. Mungkin
karena pengalaman pacaranku yang terlalu lama dimana banyak drama putus
nyambung didalamnya, sehingga kebiasaan itu terbawa hingga ke pernikahan.
Aku bertingkah seolah pernikahan juga semudah itu untuk putus nyambung. Ah, ternyata
ilmu dan aqidahku masih nol. Aku tidak pantas menikah atau membicarakan
pernikahan, aku tidak layak menjadi istri siapapun dengan sifatku yang bodoh
itu.
Itulah, 6 bulan pertama adalah masa terburuk dalam
pernikahanku dalam 5 tahun terakhir. Dan aku mulai memahami bahwa, mungkin, masa itu
dinamakan MASA PENERIMAAN.
Menjadi suami atau istri seseorang sangat berbeda jauh dengan menjadi pacar seseorang. Aku selalu melihat banyak kebaikan dari seseorang yang menjadi pacarku, tapi ketika memiliki suami, segala hal baik itu diimbangi dengan melihat hal baru, yaitu kekurangannya. Kebiasaan, gaya hidup, hal favorit, lagu kesukaan, rahasia, dan lain lain, dan lain lain, dan lain sebagainya, segalanya, ada begitu banyak perbedaan yang tidak aku perhitungkan. Dan pasangan suami istri ‘dipaksa’ rukun dengan semua perbedaan itu dibawah atap yang sama. Belum lagi perbedaan gaya hidupku sendiri, yang dimana biasanya aku cukup memikirkan diri sendiri, sekarang ada suami yang harus aku layani. Apa apa harus atas seijinnya, masak juga harus buat berdua, ininya, itunya, semua diluar nurul!
Dan apa yang lebih sulit dari masa penerimaan itu?
Adalah mempertahankannya. Mempertahankan cinta kepada
pasangan kita setelah kita tau segala sisi dan bentuk pasangan kita, segala
baik dan buruknya mereka, sedalam mana cinta yang kita terima. Setelah kita
menerima segala kelebihan dan kekurangannya, kita masih harus mempertahankannya
dalam bahtera rumah tangga. Kenapa harus bahtera? Karena ujian dalam rumah
tangga itu seperti lautan. Aku belum pernah ke lautan, tapi aku sering melihat dalam
video betapa mengerikannya ombak dilautan lepas. Kapal raksasa saja bisa
terombang ambing bagaikan kertas yang lemah. Aku tidak mencela, aku
memahami kenapa rumah tangga disandingkan dengan bahtera.
Dan secara garis besar mengacu pada pengalaman 5
tahun pernikahanku, aku jadi bisa menarik kesimpulan. Sebenarnya, BUKAN ujiannya
yang bertubi tubi yang datang dari segala penjuru, tetapi kekuatan diri kita
yang sebenarnya yang sedang beradaptasi dalam situasi rumah tangga sehingga
setiap masalah terasa sekali beratnya. Dan ketika kita berhasil melaluinya, nahloh, ternyata kita
masih baik-baik saja, dong. Dan sering berjalannya waktu, semakin banyak ujian yang dilalui,
kekuatan kita dalam menghadapinya juga semakin besar. Seakan setiap ujian bukan
lagi masalah tapi seperti sebuah hiburan atau tantangan yang akan kita hadapi bersama
pasangan kita. Setelah melewati 5 tahun pertama, setelah melewati masa
penerimaan itu, diri kita sudah berbeda dengan diri kita 5 tahun lalu. Aku
pribadi berpendapat seperti itu.
Semoga saja setiap tahun yang beralu, dalam sisa waktu hidupku, aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Berjalan bersama dengan suamiku, dengan tujuan yang sama, dengan kepercayaan, dan beriringan.
Suamiku, setelah apa yang kita lalui, aku menyadari bahwa ternyata sekarang aku sudah tidak mencintaimu lagi. Entah kapan rasa cinta itu hilang. Tapi ada perasaan khusus yang aku belum tau namanya, entah sejak kapan, tapi yang pasti, tahtanya lebih tinggi dari cinta. Atau mungkin memang perasaan itu tidak ada namanya, tapi yang jelas aku memilikinya untukmu.
Istrimu, yang lebay..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar