Kamis, 31 Oktober 2013

Meja Kayu


Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu, tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara berjalannya pun ringkih. Keluarga itu biasa makan bersama di ruang makan.
Namun, sang orangtua yang pikun ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun, membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.

Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua ini. “Kita harus lakukan sesuatu, ” ujar sang suami. “Aku sudah bosan membereskan semuanya untuk pak tua ini.” Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja kecil di sudut ruangan. Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk kayu untuk si kakek.

Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka, terdengar isak sedih dari sudut ruangan. Ada airmata yang tampak mengalir dari gurat keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak menjatuhkan makanan lagi. Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam.
Suatu malam, sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. “Kamu sedang membuat apa?”. Anaknya menjawab, “Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan.” Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya.

Jawaban itu membuat kedua orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu, airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki. Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja utama.



***

Mungkin kamu sudah mendapat pelajaran sendiri ketika selesai membacanya, dan saya rasa saya tidak perlu menjelaskan lagi pesan apa yang terdapat pada kisah terebut.
Saya pribadi sudah sejak lama membaca cerita Meja Kayu itu, sejak SMK dan kisah nya selalu terngiang-ngiang di pikiran saya. Seperti menampar keras pipi hati saya (yakali hati ada pipinya).

Walau sebetulnya yang di tampar disini adalah sepasang suami istri oleh anaknya. Anak kecil yang polos yang telah menunjukan kesalahan dengan begitu sederhana. Kelak, kita akan menjadi orang tua yang mendambakan anak yang sholeh dan sholeha. Begitupun orang tua yang mengharapkan kita, anak-anaknya menjadi sandaran mereka di hari tua.

Selagi orang tua kita masih hidup dan kita masih bisa mencium tangannya, melihat senyumnya, dan lihatlah betapa sudah berkeriput kulit mereka. Selagi masih ada kesempatan, memberikan yang terbaik kepada mereka seperti mereka yang selalu memberikan yang terbaik untuk kita. Apalagi yang bisa kita lakukan selain itu, kita yang bahkan tidak akan pernah sanggup membalas setiap tetes air susu ibu dan setiap tetes keringat ayah untuk kita.

Mudah-mudahan kita semua di beri kesempatan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua kita, karena banyak didunia ini orang yang tidak punya kesempatan untuk berbuat demikian.


Fita


1 komentar: